Pengaruh Peradaban India Kuno di Asia Tenggara

Latar Belakang

Hubungan Asia Tenggara dengan India sudah dimulai sejak zaman Prasejarah. Hal ini ditandai dengan adanya penyebaran kebudayaan Bacson-Hoabinh dan kapak persegi serta kapak lonjong yang terdapat diantara sungai Gangga melalui semenanjung Melayu sampai Jepang. Selain itu juga ditandai oleh adanya hubungan dagang dan kebudayaan baik melalui jalur laut maupun darat (Noorwijanto, 1996: 22-23).

Selama dua Abad sebelum tahun Masehi India Kuno telah kehilangan sumber penting bagi impor logam berharga ketika gerakan pengembara-pengembara memotong jalan antara Backtria dan Siberia. Sejak tahun itu dalam abad pertama masehi India harus mengimpornya dari kekaisaran Romawi.

Bacaan Lainnya

Tetapi akibat yang menyedihkan terhadap ekonomi kekaisaran menyebabkan kaisar Vespasianus (69-70) menghentikan terbangnya logam berharga ini dan memaksa India mencari sendiri dimana saja. Perkiraan Coedes mereka berbalik ke Suvarnabhumi dan Suvarnadvipa, tempat-tempat di Asia Tenggara yang bagi India merupakan tempat emas yang terkenal (Hall, 1988: 19).

Pelayaran-pelayaran jarak jauh mereka menyeberangi lautan dimudahkan oleh dua faktor yang sifatnya sangat berbeda. Faktor pertama bersifat materiil, yaitu berkembangnya ilmu pelayaran dan perkapalan di India dan Cina, dengan pembangunan jung-jung untuk laut lepas yang mampu mengangkut 600-700 penumpang dan yang pembuatannya memakai teknik yang digunakan di Teluk Persia. Fenomena lain yang bersifat moral adalah perkembangan Buddhisme(Coedes, 2010: 49-50).

Peta Asia Tenggara
Peta Asia Tenggara

Asal-Usul dan Teori Penyebaran dan Pengaruh India ke Asia Tenggara

Jalur laut telah dibicarakan sebagai sarana datangnya pengaruh India ke Asia Tenggara. Tetapi ada jalan darat utara dari India ke Cina melalui Assam, Burma, Udik dan Yunnan. Bukti sejarah menunjukkan telah dipakai sejak tahun 128 SM, ketika Chang-ch’ien menemukan hasil-hasil Szechuan di Backtria.

Bukti yang didapat menunjukkan bahwa beberapa pengaruh India masuk lewat darat ke Burma Udik. Melalui rute yang sama juga datang ke Kerajaan T’ai di Nanchao. Tetapi hubungan yang biasa antara India dan Burma melalui laut. Untuk mencapai negeri-negeri di bagian Timur daratan Indo-China kapal-kapal harus melalui Malaka atau Selat Sunda.

Karena tersebarnya perompak-perompak di perairan yang sempit ini orang-orang yang bepergian harus menghindarinya dengan menggunakan jalan pendek menyeberangi beberapa daratan. Penyeberangan darat yang lebih disukai ialah lewat Ithmus Kra yang sempit itu, dari Takua Pa di sebelah barat Ch’aya, di sebelah barat timur dari Kedah ke Singora. (Hall, 1988: 23-24).

Berpedoman lebih pada data-data arkeologi, kita melihat bahwa sejak abad pertama Masehi, orang-orang India mulai berlayar menyusuri pantai-pantai Asia Tenggara sampai pulau-pulau Nusantara yang jauh. Lama sekali alasan pasti gerakan tersebut tidak diketahui dengan jelas.

Telah dicari alasan secara berturut-turut pada invasi-invasi melalui demografi yang mungkin menimbulkan emigrasi masal. Semangat missionaris agama Buddha pun seringkali dijukan sebagai penyebab perkembangan itu. Agama itu menyebar sepanjang jalan-jalan kafilah di lautan-lautan pasir Asia Tengah seperti juga di seberang samudera (Groeslier, 68-70).

Teori-teori lain berpusat pada ksatriya (kesatria) dan waisya (pedagang) yang banyak berada di kawasan ini sambil menyebarkan kebudayaan mereka. Namun, sebagian cendekiawan berpendapat bahwa orang-orang semacam itu bukanlah “misionaris” yang efektif. Peran tersebut hanya bisa dimainkan para pendeta Brahmana dan orang suci lainnya.

Hipotesis-hipotesis ini cenderung berasumsi bahwa orang India yang datang ke Asia Tenggara dengan membawa serta kepercayaannya untuk masyarakat lokal yang mau menerimanya. Tetapi, kenyataannya kebanyakan orang Asia Tenggara adalah penjelajah laut kawakan, terutama yang berasal dari negeri Melayu. Bukan mustahil bila mereka menjadi pihak “aktif” yang membawa pulang kebudayaan India ke tanah airnya.

Jadi, walaupun memang ada Brahmana yang berkelana ke kawasan ini,mungkin benar juga ada orang-orang Asia Tenggara yang diangkat menjadi pendeta di India dan kembali ke tanah air untuk menyebarkan kepercayaan yang baru mereka dapatkan (Ricklefs, dkk., 2013: 33).

Sebab-sebab penyebaran kebudayaan India di Asia Tenggara tak mudah didapat. Dua teori yang terbuang didasarkan atas dugaan bahwa, timbulnya karena ada kekacauan situasi di India yang menyebabkan sejumlah besar pengungsi mencari rumah-rumah baru menyeberangi lautan. Yang lain mengaitkan dengan tekanan serangan Kushana pada India abad 1 Masehi (Hall, 1988: 18-19).

Persebaran agama-agama India disertai banyak unsur budaya lainnya. Sanskerta misalnya, sebagai bahasa suci agama Hindu dan Buddha Mahayana berpengaruh besar terhadap bahasa-bahasa “asli’ dataran rendah Asia Tenggara: Jawa, Melayu, Mon, Khmer, dan Cham.

Sebaliknya Thai dan Lao lebih banyak dipengaruhi bahasa Pali yang digunakan dalam agama Buddha Theravada (sama dengan orang Burma) sebagian besar Indianisasi linguistik ini terjadi melalui perantara Khmer. Kebudayaan-kebudayaan ini masih pra-aksara ketika mereka menggunakan bahasa Sanskerta. Itu sebabnya, dalam bahasa Sanskerta inilah tulisan-tulisan tertua mereka dituliskan (Ricklefs, dkk., 2013: 34).

Akibat kontak budaya yang dilakukan antara orang-orang India dengan Asia Tenggara yaitu berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu dalam kehidupan sosial masyarakat Asia Tenggara, hal ini tampak pada sistem pengairan, kesenian, arsitektur, dan sistem stratifikasi social. Berkaitan dengan ini George Coedes menyebutkan adanya 4 unsur yang berkembang yaitu:

  • Suatu konsepsi kerajaan bercirikan pemujaan Hindu atua Buddhis
  • Ekspresi sastra dalam arti dari bahasa Sanskerta
  • Pengambilan dari Ramayana, Mahabaratha, Purana dan naskah-naskah Sanskerta lain yang memilki, inti tradisi kerajaan dan asal-usul keturunan tradisional keluarga raja-raja dari daerah Sungai Gangga
  • Surat-surat petunjuk Dharmasastra atau Undang-Undang suci Hinduisme tentang manu.

Munculnya keraton besar di Asia Tenggara, misalnya Kerajaan Langkasuka di Semenanjung Malaya Utara, Kerajaan Funen di Kamboja, Kerajaan Pagen di Burma, Kerajaan Dvaravati di Thailand dan sebagainya.

Berkembangnya agama Buddha di Asia Tenggara. Kira-kira tahun 100 SM, Sangiti Buddhisme ke IV di Kaniskhapura atau Peshawar menghasilkan pemecahan faham Buddha dalam Mahayana dan Hinayana. Paham Buddha Mahayana antara tahun 150-250 AD sudah berkembang di kawasan Asia Tenggara, hal ini ditandai dengan banyaknya patung Buddha Dipangkara Langgam Amarawati di tepi Sungai Kistna pada pantai timur India, yaitu di Pongtiuk (Thailand), Duong Duang Annam dan di daerah Indonesia (Jember, Seguntang, Sempaga) (Noorwijanto, 1996: 23-24).

Di Teluk Menam tempat Pra Pathom dan P’ong Tuk muncul bukti tertua pengaruh India. Bukti itu berupa fondasi-fondasi bangunan dan patung-patung Buddha gaya Gupta, disamping patung perunggu kecil Buddha dalam gaya Amaravati yang berkembang di India antara abad kedua dan keempat.

Nama-nama yang terdapat di Asia Tenggara dapat diambil untuk menunjukkan hubungan-hubungan lokasi dengan India. Dengan demikian di Burma nama-nama Ussa (Pegu) dan Shri Ksetra (Hmawza atau Prome lama) mungkin menunjukkan hubungan yang sangat tua dengan Orissa, sementara Talaing, nama Burma bagi rakyat Mon di sebelah selatan, rupanya berasal dari Telingana di daerah Madras yang ada hubungan erat di bidang kebudayaan.

Ho-ling nama Cina untuk kerajaan Jawa mula-mula, mungkin menggambarkan Kling, juga nama yang dipakai untuk India bagian selatan di Malaya dan Kamboja, dan menunjukkan hubungan asli dengan Kalinga. Orang Batak Karo di Sumatera mempunyai nama-nama marga seperti Chola, Pandya, Pallawa dan Malaya, semuanya datang dari orang-orang India suku Dravida.

Tradisi dinasti Raja Funan kembali seperti yang telah dikatakan terdahulu yaitu Chola dan Pallawa di bagian selatan India, ketika melukiskan asal perkawinan dalam dongeng antara seorang Brahmana bernama Kaundinya dengan puteri Naga. Kaundinya adalah nama klan Brahmana di India Utara yang cabang-cabangnya berpengaruh di Mysore dalam abad II Masehi (Hall, 1988: 19-23).

DAFTAR PUSTAKA

  • Coedes, G. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. (Terj. Winarsih Partaningrat Arifin). Jakarta: Perpustakaan Populer Gramedia.
  • Groslier, B.P. 2002. Indocina Persilangan Kebudayaan. (Terj. Ida Sundari Husen). Jakarta: Perpustakaan Populer Gramedia.
  • Hall, D.G.E. 1988. Sejarah Asia Tenggara. (Terj. I.P. Soewarsha). Surabaya: Usaha Nasional.
  • Noorwijanto, S. 1996. Pengantar Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: University Press IKIP Surabaya.
  • Ricklefs, M.C. dkk. 2013. Sejarah Asia Tenggara dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer. (Terj. Tim Komunitas Bambu). Jakarta: Komunitas Bambu.

Penulis

NamaRia Mualimatul Ulum
StatusMahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Jember


Pos terkait